Tumpek Uduh/Wariga/Atag/Bubuh (Filosofi, Tata Cara dan Mantranya)



[ X Tutup Iklan]

Disebut juga hari raya Tumpek Uduh, Tumpek Pengarah, Tumpek Pengatag, atau Tumpek Bubuh. Hari ini adalah hari turunnya Sanghyang Sangkara yang menjaga keselamatan hidup segala tumbuh- tumbuhan (pohon-pohonan). Beliau memelihara agar tumbuh-tumbuhan itu subur tumbuhnya, hidup dan terhindar dari hama penyakit, agar supaya memberikan hasil yang baik dan berlimpah, melebihi dari yang sudah-sudah dan hemat walaupun dipakai atau dimakan.

 

Filsofi Tumpek Uduh/Wariga/Atag

meme at tumpek uduh

Di Bali Umat Hindu juga sering menyebutnya Tumpek Wariga yang jatuh 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Disebut Tumpek Wariga, karena dilaksanakan pada Saniscara Kliwon Wariga. Sebagai rasa syukur kehadapan  Hyang Maha Pencipta dalam manifestasinya sebagai Hyang Sangkara atas ciptaanya. Sang Hyang Sangkara akan dipuja di arah wayabya (Barat Laut) atau Kaja-Kauh dari pengider mata angin Bali. Untuk alasan itu, dalam pengider buana, Sang Hyang Sangkara digambarkan dengan warna hijau, yang mewakili tumbuhan. Jika kita merujuk pada konsep Siva Siddhanta, maka Sang Hyang Sangkara adalah bagian dari perbanyakan Bhatara Siwa yang tidak berbeda dengan Beliau. Tetapi, dalam etika dan upacaranya, pembagian dan pembedaan itu diadakan untuk menggambarkan kekuatan Beliau yang tanpa batas dan agar manusia yang serba terbatas ini dapat merealisasikan setiap energi Tuhan dalam kehidupannya.

Peringatan hari raya Tumpek Atag tentu kita bisa rasakan betapa alam saling mendukung keberadaan satu sama lain, di hari otonan tumbuh-tumbuhanan ini, kita berharap hujan akan jatuh dari bapa akasa memandikan seluruh tumbuhan agar menjadi bersih, memberikan siraman kesejukan kepada ibu pertiwi, agar ibu pertiwi bisa memberikan kesuburan dan menghidupi tanam-tanamanan di atasnya. Namun untuk mewujudkan semua itu, kita sebagai umat tidak cukup hanya dengan menghaturkan sesajen untuk tumbuh-tumbuhan setiap rahina Tumpek Uduh. Namun perlu diiringi dengan aksi nyata, misalnya turut menyukseskan program pemerintah aktif melakukan aksi penghijauan melalui program satu miliar pohon, one man one tree, wanita menanam pohon atau program sejenisnya, menyayangi tumbuh-tumbuhan, memerangi aksi illegal logging dan lainnya. Dengan lestarinya alam dan tumbuh-tumbuhan ini, diharapkan dapat pula menekan atau mengurangi dampak dari pemanasan global (global warming). Tidak ada istilah terlambat untuk menanam pohon, karenanya mulai lah dari sekarang, mulai dari lingkungan di sekitar kita. Karena apa yang kita tanam saat ini demi anak cucu kita kelak.

 

Tata Cara Pelaksanaan Tumpek Uduh/Wariga/Atag

tumpek uduh dadong

Disebut juga Tumpek Bubuh, karena saat itu dihaturkan bubur sumsum yang terbuat dari tepung. Disebut Tumpek Pangatag, karena matra yang digunakan untuk mengupacarai tumbuhan disertai dengan prosesi ngatag, menggetok-getok batang tumbuhan yang diupacarai. Adapun banten atau sarana yang diperlukan dan dihaturkan saat Tumpek Wariga adalah sebagai berikut :

Baca Juga:   Mengenal LEAK, Agar Tidak Salah Mengartikan

 

  • Banten Prass.
  • Banten Nasi Tulung Sesayut.
  • Banten Tumpeng.
  • Bubur Sumsum (dibuat Tepung)
  • Banten Tumpeng Agung
  • Ulam itik (diguling), banten penyeneng.
  • Tetebusan, dan canang sari, ditambah dupa harum.

 

Banten tersebut dihaturkan menghadap Kaja-Kauh dan ayatlah Bhatara Sangkara sebagai Dewanya tumbuhan. Kemudian, semua tanaman yang ada di sekitar rumah atau pekarangan diberikan sasat gantungan dan diikat di bagian batangnya. Setelah itu, berikan bubur sumsum. Lalu, “atag”, pukulkan tiga kali dengan pisau tumpul (tiuk tumpul) dengan mengucapkan mantra sebagai berikut :

“Kaki-kaki, dadong dija? Dadong jumah gelem kebus dingin ngetor. Ngetor ngeed-ngeed-ngeeed-ngeeed, ngeed kaja, ngeed kelod, ngeed kangin, ngeed kauh, buin selae lemeng galungan mebuah pang ngeeed”

Yang artinya:

“Kakek-kakek, nenek dimana? Nenek dirumah sakit panas mengigil. Mengigil lebatt-lebatt-lebattt-lebattt, lebat utara, lebat selatan, lebat timur, lebat barat, lagi dua puluh lima hari hari raya galungan berbuahlah dengan lebat”

Mantra tersebut adalah mantra sesontengan (makna kiasan) secara turun temurun diucapkan saat mempersembahkan upakara (banten) Tumpek Atag.  Penyebutan kaki-dadong dalam konteks ini adalah upaya penunjukan yang ditujukan untuk memuliakan tumbuhan yang jauh lebih dulu ada dari pada manusia dan makhluk lain yang ada di permukaan Bumi. Entah siapa yang memulai dan sejak kapan petikan monolog tersebut diatas tersebar luas di kalangan masyarakat Hindu di Bali, penulis tidak mengetahui secara pasti. Dan kutipan monolog tersebut di atas mungkin tidak sama persis diucapkan oleh warga desa yang satu dengan warga desa yang lainnya. Namun yang jelas, petikan monolog yang kerap terdengar setiap rerahinan Tumpek Uduh tersebut memiliki tujuan atau pun harapan yang sama. Yakni, sebagai wujud kepedulian umat Hindu akan kelestarian lingkungan di sekitarnya, khususnya tumbuh-tumbuhan. Selain itu, sebagai ungkapan terimakasih serta puji syukur ke hadapan Ida Sanghyang Widi Wasa atas segala rahmat yang dianugerahkannya berupa tumbuh-tumbuhan yang subur, dengan batang yang kokoh dan daun serta buah yang lebat sebagai sumber kemakmuran bagi seluruh umat manusia. Hal tersebut sebagaimana kutipan terakhir pada monolog di atas yakni, …nged…, nged, nged….! Yang berarti lebat.

tumpek uduh

Seperti diketahui, di beberapa tempat di Bali ada yang menyebut rerahinan jagat tersebut dengan istilah Tumpek Bubuh (mungkin karena salah satu isi sesajen yang dihaturkan berupa bubur), ada pula yang menyebutnya dengan Tumpek Pengatag, Tumpek Pengarah (mungkin pula sebagai pemberitahuan terkait datangnya Hari Raya Galungan, karena rerahinan ini jatuhnya persis 25 hari menjelang Hari Raya Galungan). Ada pula yang menyebutnya sebagai Tumpek Wariga, karena bertepatan dengan wuku Wariga. Sementara sebagian masyarakat lagi ada yang mengistilahkan upacara ini sebagai otonan punyan-punyanan. Dalam meteologi Hindu ada penggambaran Sang Hyang Sangkara lebih didominasi dengan tampilan yang terkesan seperti di hutan rimba. Hyang Sangkara duduk di bawah pohon beringin (pippala) yang memiliki akar gantung ribuan banyaknya serta lebat dan besar. Sedangkan di Bali, Beliau digambarkan menyatu dengan pangider Buana dengan Dewata Nawa Sanga Lainnya.

Baca Juga:   Hindu, Agama Air Suci

 

Makna Sesaji Bubur Saat Hari Tumpek Wariga

 

Hari raya yang juga dikenal dengan nama lain Tumpek Bubuh, Tumpek Uduh dan Tumpek Pengatag ini biasanya ditandai dengan tradisi membuat bubur (bubuh). Itu sebabnya, Tumpek Wariga dikenal juga sebagai Tumpek Bubuh. Tapi, tak banyak yang tahu, mengapa saat Tumpek Wariga mesti membuat bubur. Mengapa pula dalam banten pengantag yang dihaturkan saat mengupacarai tumbuhan mesti dilengkapi bubur?

Pendharmawacana (penceramah) agama Hindu, I Ketut Wiana, bubur merupakan lambang kesuburan. Perayaan Tumpek Wariga memang dimaksudkan sebagai ungkapan syukur atas anugerah kesuburan yang diberikan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sehingga segala macam tumbuhan bisa tumbuh dengan baik. Tumbuh-tumbuhan itu yang kemudian menjadi sumber kehidupan utama bagi umat manusia.

Menurut Wiana, dalam ajaran agama Hindu dikenal konsep tri chanda yakni tiga unsur yang menjadi penyebab hidup dan kehidupan. Ketiga unsur itu yakni vata (udara), apah(air) serta ausada (tumbuh-tumbuhan). Tanpa ketiga unsur itu, kehidupan tidak bisa berlangsung.

“Makanya, kejahatan terhadap ketiga unsur dasar dalam kehidupan itu adalah kejahatan terbesar dalam hidup,” kata Wiana.

Dalam Niti Sastra juga disebutkan tri ratna permata, tiga hal yang menyebabkan kemuliaan hidup yakni tumbuh-tumbuhan, air dan kata-kata bijak. Menurut Hindu, kata Wiana, tumbuh-tumbuhan adalah saudara tua manusia.

Tradisi membuat dan menghaturkan bubur saat Tumpek Wariga, menurut Wiana, lebih merupakan tradisi lokal Bali. Tradisi ini kemudian diharmonisasi dengan ajaran agama Hindu.

Biasanya, imbuh Wiana, bubur yang dibuat dan dihaturkan saat Tumpek Bubuh berwujud bubur berwarna merah dan putih. Bubur berwarna merah merupakan lambang purusa(maskulin) sedangkan bubur berwarna putih merupakan lambang pradana (feminim). Penyatuan kedua unsur itu menyebabkan lahirnya kehidupan.

Tradisi perayaan Tumpek Wariga, kata Wiana, tidak saja ada di Bali. Di India juga ada tradisi serupa yakni Sangkara Puja. Saat Tumpek Wariga juga dilakukan pemujaan Sang Hyang Sangkara sebagai penguasa segala tumbuh-tumbuhan.

“Konsepsinya adalah sarwatumuwuh, segala yang bertumbuh itu merupakan karunia terbesar Tuhan sehingga patut disyukuri,” tandas Wiana. (b.)

Baca Juga:   Kisah Kelahiran Dewa Ganesha dan Mengapa Gadingnya Patah?

 

Kesimpulan

Tumpek Pengatag, atau Tumpek Bubuh adalah hari turunnya Sanghyang Sangkara yang menjaga keselamatan hidup segala tumbuh- tumbuhan (pohon-pohonan). Beliau memelihara agar tumbuh-tumbuhan itu subur tumbuhnya, hidup dan terhindar dari hama penyakit, agar supaya memberikan hasil yang baik dan berlimpah, melebihi dari yang sudah-sudah dan hemat walaupun dipakai atau dimakan. Kutipan monolog di atas seakan melukiskan harapan umat (Hindu) kepada Ida Bhatara Sangkara selaku manifestasi Ida Sanghyang Widi Wasa sebagai penguasa tumbuhan-tumbuhan agar melimpahkan karunia-Nya untuk kesejahteraan umat manusia, bukan hanya saat menjelang Galungan namun selamanya. Misalnya, agar pepohonan tumbuh subur, berdaun, berbunga atau berbuah lebat (nged). Membaca apa yang disampaikan diatas , akan menjadi menawan, bila Tumpek Pengatag tak semata diisi dengan menghaturkan banten pengatag kepada pepohonan, tapi juga diwujudnyatakan dengan menanam pohon serta menghentikan tindakan merusak alam lingkungan. Dengan begitu, Tumpek Pengatag yang memang dilandasi kesadaran pikir visioner menjadi sebuah perayaan Hari Bumi yang paripurna. Bahkan, manusia Bali bisa lebih berbangga, karena peringatan Hari Bumi-nya dilakonkan secara nyata serta indah menawan karena diselimuti tradisi kultural bermakna kental. Bahkan, Bali tak perlu lagi dibuatkan tradisi baru “Hari atau Bulan Menanam Pohon”.

Kita harus sadar bahwa sumber energy yang kita miliki untuk melakukan rutinitas seharian kita berasal dari alam.

Annaad bhavanti bhuutaani. Prajnyaad annasambhavad.

Yadnyad bhavati parjany, Yadnyah karma samudbhavad.

(Bhagavad Gita.III.14)

Artinya:

Makhluk hidup berasal dari makanan. Makanan berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan berasal dari hujan. Hujan berasal dari yadnya. Yadnya itu adalah karma.

Tanpa tumbuh-tumbuhan, semua makhluk bernyawa tidak dapat melangsungkan hidupnya, karena bahan pokok makanan hewan dan manusia adalah tumbuh-tumbuhan. Adanya tumbuh-tumbuhan adalah yadnya dari bumi dan langit kepada semua makhluk hidup ini. Hal inilah yang semestinya kita lakukan secara terus menerus, dan berkelanjutan, mengajegkan flora dan fauna Bali, bahkan di seluruh dunia. Secara berkala dalam merayakan hari Tumpek Wariga, di samping secara niskala kita melakukan upacara keagamaan. Dengan demikian, dari Tumpek Wariga ke Tumpek Wariga berikutnya kita dapat menyaksikan berbagai kemajuan dalam pelestarian tumbuh-tumbuhan Bali.

 

Mari sayangi Alam, Stop membangun Gedung Mewah dan  Mulai Menanam Pohon, untuk indahnya Ibu Pertiwi Kita dan warisan alam udara yang sehat untuk cucu-cucu kita. Salam Santih.

 

 

BAGAI MANA MENURUT ANDA?

BERMANFAAT? SEBARKAN KE SELURUH UMAT…

 

 

Sumber : Babad Bali. Wayan Tarne  , Bali Saja



Semoga Bermanfaat





Ngiring subscribe youtube channel Mantra Hindu inggih [klik disini]





Bermanfaat ? Sebarkan ke Keluarga dan Sahabatmu..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

[related_post themes="flat" id="523"]