Hari Raya Galungan (Sejarah, Filosofi dan Runtutannya)



[ X Tutup Iklan]

Sejarah Hari Raya Galungan masih merupakan misteri. Dengan mempelajari pustaka-pustaka, di antaranya Panji Amalat Rasmi (Jaman Jenggala) pada abad ke XI di Jawa Timur, Galungan itu sudah dirayakan. Dalam Pararaton jaman akhir kerajaan Majapahit pada abad ke XVI, perayaan semacam ini juga sudah diadakan.
Menurut arti bahasa, Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa Sunda terdapat kata Galungan yang berarti berperang.

Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagatatau Oton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/ Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya. Pada hari itulah umatangayubagia, bersyukur atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini.

Ngaturang maha suksmaning idép, angayubagia adalah suatu pertanda jiwa yang sadar akan Kinasihan, tahu akan hutang budi.

Yang terpenting, dalam pelaksanaan upakara pada hari-hari raya itu adalah sikap batin. Mengenai bebanten tidak kami tuliskan secara lengkap dan terinci. Hanya ditulis yang pokok-pokok saja menurut apa yang umum dilakukan oleh umat. Namun sekali lagi, yang terpenting adalah kesungguhan niat dalam batin.

Dalam rangkaian peringatan Galungan, pustaka-pustaka mengajarkan bahwa sejak Redite Pahing Dungulan kita didatangi oleh Kala-tiganing Galungan. Sang Kala Tiga ialah Sang Bhuta Galungan, SangBhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat. Disebutkan dalam pustaka-pustaka itu: mereka adalah simbul angkara (keletehan). Jadi dalam hal ini umat berperang, bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi kala keletehan dan adharma. Berjuang, berperang antara dharma untuk mengalahkan adharma. Menilik nama-nama itu, dapatlah kiranya diartikan sebagai berikut:

  1. Hari pertama = Sang Bhuta Galungan.
    Galungan berarti berperang/ bertempur. Berdasarkan ini, boleh kita artikan bahwa pada hari Redite Pahing Dungulan kita baru kedatangan bhuta (kala) yang menyerang (kita baru sekedar diserang).
  2. Hari kedua = Sang Bhuta Dungulan.
    Ia mengunjungi kita pada hari Soma Pon Dungulan keesokan harinya. Kata Dungulan berarti menundukkan/ mengalahkan.
  3. Hari ketiga = Sang Bhuta Amangkurat
    Hari Anggara Wage Dungulan kita dijelang oleh Sang Bhuta Amangkurat. Amangkurat sama dengan menguasai dunia. Dimaksudkan menguasai dunia besar (Bhuwana Agung), dan dunia kecil ialah badan kita sendiri (Bhuwana Alit).

Pendeknya, mula-mula kita diserang, kemudian ditundukkan, dan akhirnya dikuasai. Ini yang akan terjadi,keletehan benar-benar akan menguasai kita, bila kita pasif saja kepada serangan-serangan itu. Dalam hubungan inilah Sundari-Gama mengajarkan agar pada hari-hari ini umat den prayitna anjekung jnana nirmala, lamakane den kasurupan. Hendaklah umat meneguhkan hati agar jangan sampai terpengaruh oleh bhuta-bhuta (keletehan-keletehan) hati tersebut. Inilah hakikat Abhya-Kala (mabiakala) danmetetebasan yang dilakukan pada hari Penampahan itu.

Menurut Pustaka (lontar) Djayakasunu, pada hari Galungan itu Ida Sanghyang Widhi menurunkan anugrah berupa kekuatan iman, dan kesucian batin untuk memenangkan dharma melawan adharma. Menghilangkan keletehan dari hati kita masing-masing. Memperhatikan makna Hari Raya Galungan itu, maka patutlah pada waktu-waktu itu, umat bergembira dan bersuka ria. Gembira dengan penuh rasaParama Suksma, rasa terimakasih, atas anugrah Hyang Widhi. Gembira atas anugrah tersebut, gembira pula karena Bhatara-bhatara, jiwa suci leluhur, sejak dari sugi manek turun dan berada di tengah-tengahpratisentana sampai dengan Kuningan.

Penjor terpancang di muka rumah dengan megah dan indahnya. Ia adalah lambang pengayat ke Gunung Agung, penghormatan ke hadirat Ida Sanghyang Widhi. Janganlah penjor itu dibuat hanya sebagai hiasan semata-mata. Lebih-lebih pada hari raya Galungan, karena penjor adalah suatu lambang yang penuh arti. Pada penjor digantungkan hasil-hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang. Ini mempunyai arti: Penggugah hati umat, sebagai momentum untuk membangunkan rasa pada manusia, bahwa segala yang pokok bagi hidupnya adalah anugrah Hyang Widhi. Semua yang kita pergunakan adalah karuniaNya, yang dilimpahkannya kepada kita semua karena cinta kasihNya. Marilah kita bersama hangayu bagia, menghaturkan rasa Parama suksma.
Kita bergembira dan bersukacita menerima anugrah-anugrah itu, baik yang berupa material yang diperlukan bagi kehidupan, maupun yang dilimpahkan berupa kekuatan iman dan kesucian batin. Dalam mewujudkan kegembiraan itu janganlah dibiasakan cara-cara yang keluar dan menyimpang dari kegembiraan yang berdasarkan jiwa keagamaan. Mewujudkan kegembiraan dengan judi, mabuk, atau pengumbaran indria dilarang agama. Bergembiralah dalam batas-batas kesusilaan (kesusilaan sosial dan kesusilaan agama) misalnya mengadakan pertunjukkan kesenian, malam sastra, mapepawosan, olahraga dan lain-lainnya. Hendaklah kita berani merombak kesalahan-kesalahan/ kekeliruan-kekeliruan drsta lama yang nyata-nyata tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran susila. Agama disesuaikan dengan desa,kala dan patra. Selanjutnya oleh umat Hindu di Bali dilakukan persernbahyangan bersama-sama ke semua tempat persembahyangan, misalnya: di sanggah/ pemerajan, di pura-pura seperti pura-puraKahyangan Tiga dan lain-lainnya. Sedangkan oleh para spiritualis, Hari Raya Galungan ini dirayakan dengan dharana, dyana dan yoga semadhi.

Persembahan dihaturkan ke hadapan Ida Sanghyang Widhi dan kepada semua dewa-dewa dan dilakukan di sanggah parhyangan, di atas tempat tidur, di halaman, di lumbung, di dapur, di tugu (tumbal), di bangunan-bangunan rumah dan lain-lain.
Seterusnya di Kahyangan Tiga, di Pengulun Setra (Prajapati), kepada Dewi Laut (Samudera) Dewa Hutan (Wana Giri) di perabot-perabot / alat-alat rumah tangga dan sebagainya.

Widhi-widhananya untuk di Sanggah/ parhyangan ialah: Tumpeng penyajaan, wewakulan, canang raka, sedah woh, penek ajuman, kernbang payas serta wangi-wangian dan pesucian. Untuk di persembahyangan (piasan) dihaturkan tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan serta dengan pelengkapnya. Lauk pauknya sesate babi dan daging goreng, daging itik atau ayarn, dibuat rawon dan sebagainya. Sesudah selesai menghaturkan upacara dan upakara tersebut kemudian kita menghaturkansegehan tandingan sebagaimana biasanya, untuk pelaba-pelaba kepada Sang Para Bhuta Galungan, sehingga karena gembiranya mereka lupa dengan kewajiban- kewajibannya mengganggu dan menggoda ketentraman batin manusia.
Demikianlah hendaknya Hari Raya Galungan berlaku dengan aman dan diliputi oleh suasana suci hening, mengsyukuri limpahan kemurahan Ida Sanghyang Widhi untuk keselamatan manusia dan seisi dunia. Pada hari Saniscara Keliwon Wuku Kuningan (hari raya atau Tumpek Kuningan), Ida Sanghyang Widhi para Dewa dan Pitara-pitara turun lagi ke dunia untuk melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan pokok tersebut.
Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua.
Demikian secara singkat keterangan-keterangan dalam merayakan hari Raya Galungan dan Kuningan dalam pelaksanaan dari segi batin.

RUNTUTAN HARI RAYA GALUNGAN

Hari raya Galungan diperingati setiap 210 hari sekali yang jatuh pada hari rabu kliwon wuku Dungulan. Hari raya Galungan ini juga disebut sebagai Hari Pawedalan Jagat mengandung makna untuk pemujaan Ida Sanghyang Widhi wasa karena telah menciptakan dunia dengan segala isinya. Selain itu juga Hari raya Galungan merupakan hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Hari raya Galungan diperkirakan ada di Indonesia sejak abad XI. Hal ini didasarkan antara lain : Kidung Panji Malat Rasmi dan Pararaton Kerajaan Majapahit.

Perayaan semacam ini di India disebut Sraddha Wijaya Dasani
Di Bali sebelum Pemerintahan Raja Sri Jaya Kesunu perayaan Galungan pernah tidak dilaksanakan oleh karena Raja-raja pada jaman itu tidak memperhatikan upacara Keagamaan.Hal tersebut berakibat kehidupan rakyat sangat tidak aman serta penderitaan dimana-mana serta umur Raja-raja berumur pendek. Kemudian setelah Raja Sri Jaya Kesunu naik tahta dan mendapatkan pewarah-warah dari Bhatari Durga atas permohonannya maka Galungan kembali dirayakan dengan suatu ketetapan tidak ada galungan batal dilaksanakan.

Adapun proses dan runtutan perayaannya adalah:

  1. Tumpek Wariga

Tumpek Wariga merupakan proses awal dalam melaksanakan Hari Raya Galungan yakni tepat 25 hari sebelumnya yang jatuh tepat pada Hari Sabtu Kliwon Wuku Wariga. Tumpek ini juga sering disebut dengan Tumpek Pengatag, Tumpek Pengarah, Tumpek Uduh atau Penguduh. Adapun makna dari Tumpek Wariga tersebut adalah memohon keselamatan kepada semua tumbuh-tumbuhan agar dapat hidup dengan sempurna dan dapat memberikan hasil untuk bekal merayakan Galungan.

2.   Hari Sugihan Jawa

Dirayakan setiap 210 hari atau 6 bulan sekali pada hari Kamis Wage wuku Sungsang tepat 6 hari sebelum hari Galungan. Perayaan  Sugihan Jawa bermakna memohon kesucian terhadap Bhuwana Agung (Alam semesta).

3. Hari Sugihan Bali

Dirayakan juga setiap 6 bulan sekali pada hari Jumat Kliwon wuku Sungsang yaitu 5 hari Galungan,sehari setelah Sugihan Jawa.cuma bedanya untuk hari sugihan Bali memohon keselamatan terhadap Bhuwana Alit atau diri masing-masing perorangan.

4. Hari Penyekeban.

Pada hari penyekeban yang jatuh pada Minggu Paing wuku Dungulan atau 3 hari sebelum Galungan. Hari Penyekeban bagi masyarakat umum dimaknai sebagai hari penyekeban buah-buahan yang akan dipakai sarana persembahyangan. Sehingga tepat di Hari Galungan nanti diharapkan semua buah-buahan sudah masak. Tetapi secara Epistemologi Hari Penyekeban bermakna menyekeb atau pengendalian diri, karena diyakini pada hari ini Sang Tiga Wisesa Kala mulai turun menggoda kemampuan serta keyakinan manusia. Hal ini disebutkan “Anyekung Jnana Suaha Nirmala agar terhindar dari Godaan-godaan.

5. Hari Penyajaan Galungan

Hari Penyajaan Galungan  jatuh pada Senen/Soma Pon wuku Dungulan 2 hari sebelum Galungan. Pada hari ini dipergunakan sebagai hari persiapan membuat jajan bagi masyarakat umum. Dan juga diyakini pada hari ini turunnya sang Bhuta Dungulan untuk menguji kesungguhan hati Umat Hindu didalam menyambut Hari besar Galungan. Patut diwaspadai pada hari ini akan banyak godaan-godaan menguji kesabaran manusia.

6. Hari Penampahan Galungan

Jatuh pada Selasa/Anggara Wage wuku dungulan sehari sebelum Hari Raya Galungan. Pada hari ini bagi para Bapak-bapak melaksanakan pemotongan hewan, membuat sate, lawar dan lain sebagainya. Sedangkan bagi Ibu-ibu dan remaja putri metanding/mengatur sesajen/bebantenan yang akan dipergunakan esok harinya. Patut diwaspadai pula pada hari ini diyakini turunnya Bhuta Amangkurat yang akan menggoda manusia dimuka bumi. Hindari pertengkaran di hari ini. Pada sore harinya seluruh anggota keluarga melaksanakan upacara Biyakala serta membuat Penjor.

7. Hari raya Galungan

Jatuh pada hari Rabu/Buda Kliwon wuku dungulan, merupakan Puncak Upacara peringatan Kemenangan Dharma melawan Adharma. Pada hari ini seluruh Umat Hindu melaksanakan persembahyangan ditempat-tempat suci seperti Pura, Candi dan sebagainya sebagai wujud kebahagiaan telah melalui masa-masa godaan oleh sang Bhuta Dungulan.

8. Hari Peraridan Guru.

Jatuh pada hari Sabtu/Saniscara Pon Wuku Dungulan. Pada hari ini semua umat Hindu mensucikan diri dengan mandi di Pantai serta sumber mata air dilanjutkan memohon keselamatan dengan makan sisa Yajnya berupa Tumpeng Guru bersama seluruh anggota keluarga.

APA YANG HARUS ANDA SIAPKAN?

  • Dalam menyambut dan merayakan hari-hari raya itu, bergembiralah atas anugrah Hyang Widhi dalam batas-batas kesusilaan agama dan keprihatinan bangsa.
  • Terangkan hati, agar menjadi Çura, Dira dan Deraka (berani, kokoh dan kuat), dalam menghadapi hidup di dunia.
  • Hemat dan sederhanalah dalam mempergunakan biaya.
  • Terakhir dan bahkan yang terpenting ialah mohon anugrah Hyang Widhi dengan ketulusan hati.

 

BAGAIMANA MENURUT ANDA?

SEBARKAN KESELURUH UMAT

 

SUMBER : Babadbali, Grandmirage, Ferrycute



Semoga Bermanfaat





Ngiring subscribe youtube channel Mantra Hindu inggih [klik disini]





Bermanfaat ? Sebarkan ke Keluarga dan Sahabatmu..

One thought on “Hari Raya Galungan (Sejarah, Filosofi dan Runtutannya)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

[related_post themes="flat" id="709"]