Penjelasan dan Tata Cara Puja Trisandya, Kramaning Sembah, dan Me-Saiban



[ X Tutup Iklan]

Puja Trisandya dilaksanakan tiga kali sehari karena menurut Lontar Niti Sastra, kita sebagai penganut Hindu Sekte Siwa Sidanta memuja Matahari (Surya) sebagai keagungan dan kemahakuasaan Hyang Widhi. Matahari juga sumber energi atau sumber kehidupan.

Pemujaan itu dimulai pagi-pagi menyongsong terbitnya matahari (sekitar jam 05.30), siang hari tepat jam 12.00 ketika Bumi berada dalam posisi yang menerima panas Matahari maksimum, dan sore hari ketika matahari menjelang “tenggelam” (sekitar jam 18.30).

Trisandya terdiri dari dua kata, yaitu “Tri” artinya tiga, “Sandya” artinya sembahyang. Jadi Trisandya artinya sembahyang tiga kali sehari. Puja Trisandya diucapkan secara lengkap keenam baitnya, karena tiga bait pertama adalah puja-puji kepada Hyang Widhi, dan tiga bait terakhir adalah permohonan ampun dan kepasrahan kepada-Nya.

Bait pertama disebut Mantram Gayatri, dapat digunakan dalam waktu sempit/ penting misalnya sebelum berangkat (starter) kendaraan, ketika akan menyeberang sungai, menjelang, dan setelah kelahiran bayi, mendoakan orang sakit agar lekas sembuh, dll.

Setelah mengucapkan Puja Trisandya, sembahyang Kramaning Sembah.

Maturan sehari-hari (pagi setelah masak) disebut me-saiban. Bantennya canang sari berisi semua jenis makanan yang dimasak hari itu.

Tempat-tempat maturan saiban diatur dalam Manawa Dharmasastra Tritiyo Dhyayah sloka ke-68:

PANCA SUNA GRHASTHASYA CULLI PESANYU PASKARAH, KANDANI CODA KUMBHASCA BADHYATE YASTU WAHAYAN

Artinya: Seorang kepala keluarga mempunyai lima macam tempat penyembelihan, yaitu tempat masak, batu pengasah, sapu, lesung dan alunya, tempayan tempat air dengan pemakaian mana ia diikat oleh belenggu dosa.

Maksudnya di lima tempat itu keluarga telah melakukan pembunuhan secara sengaja atau tidak sengaja terhadap mahluk-mahluk hidup yang dapat dilihat mata maupun tidak; karena Hindu mengenal kepercayaan Ahimsa maka pembunuhan itu adalah dosa.

Baca Juga:   Mengapa Umat Hindu Menghormati Sapi?

Selanjutnya sloka ke-6:

TASAM KRAMENA SARWASAM NISKRTYASTHAM MAHARSIBHIH, PANCA KIRPTA MAHAYAJNAH PRATYAHAM GRHAMEDHINAM

Artinya: Untuk menebus dosa yang ditimbulkan oleh pemakaian kelima alat itu para Maha Rsi telah menggariskan untuk para kepala keluarga agar setiap harinya melakukan Panca Yadnya.

Yang dimaksud Panca Yadnya setiap hari adalah mesaiban, selain kelima tempat itu sebagai perwujudan Bhuta Yadnya, juga ke Pelinggih Dewa-Dewi: Padmasari, Kemulan Rong 3, dll. sebagai Dewa Yadnya, Pelinggih Maha Rsi Mpu Kuturan: Manjangan Sluang, Taksu (Linggih Dewi Saraswati), dll. sebagai Rsi Yadnya, Pelinggih Hyang Kompiang sebagai Pitra Yadnya, dan setelah itu barulah segenap keluarga makan sebagai wujud Manusa Yadnya.

Pelinggih seperti: Pengerurah, Jero Gede, Sedahan Karang, dll. adalah pelinggih Bhatara Kala.

Pelinggih di Kamar Suci seperti Dewa Ayu Melanting, Pejenengan, dll. adalah simbol Dewa-Dewi, sedangkan pelangkiran di kamar tidur adalah pelinggih Kanda Pat (saudara di niskala).

Urut-urutan mesaiban, mulai dari pelinggih-pelinggih: Dewa, Rsi, Pitra, Manusa, dan Bhuta.

Mesaiban di masing-masing pelinggih/ tempat pembunuhan seperti diuraikan di atas, dan sembahyang boleh dilakukan hanya di depan Piasan.

Mantram ketika maturan boleh dengan sesontengan bagi Walaka, namun bagi Ekajati dan Dwijati, minimal menggunakan Puja Tribhuwana.

Ketika sembahyang konsentrasi pikiran seperti arti kata-kata Puja Trisandya dan Kramaning Sembah sebagai berikut

BACA MANTRA TRISANDYA >>

DAN

BACA  KRAMANING SEMBAH>>

Ketika bersembahyang tidak meminta sesuatu kepada-Nya, selain mengucapkan doa-doa seperti tersebut di atas.

Perhatikanlah makna Kekawin Arjuna Wiwaha sebagai berikut:

HANA MARA JANMA TAN PAPIHUTANG BRATA YOGA TAPA SAMADI ANGETEKUL AMINTA WIRYA SUKA NING WIDHI SAHASAIKA, BINALIKAKEN PURIH NIKA LEWIH TINEMUNIYA LARA, SINAKITANING RAJAH TAMAH INANDEHANING PRIHATI.

Artinya: Adalah orang yang tidak pernah melaksanakan brata tapa yoga samadi, dengan lancang ia memohon kesenangan kepada Widhi (dengan memaksa) maka ditolaklah harapannya itu sehingga akhirnya ia menemui penderitaan dan kesedihan, disakiti oleh sifat-sifat rajah (angkara murka/ ambisius) dan tamah (malas dan loba), ditindih oleh rasa sakit hati.

Baca Juga:   Mengenal LEAK, Agar Tidak Salah Mengartikan

Itu berarti pula bahwa Hyang Widhi mengasihi dan memberkati hamba-Nya yang melaksanakan brata tapa yogi samadi terus menerus tanpa mengharap pahala.

 

SALAM SHANTI

SUMBER : stitidharma.org



Semoga Bermanfaat





Ngiring subscribe youtube channel Mantra Hindu inggih [klik disini]





Bermanfaat ? Sebarkan ke Keluarga dan Sahabatmu..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

[related_post themes="flat" id="904"]