[ X Tutup Iklan]

It seems we can’t find what you’re looking for. Perhaps searching can help.


Baca 2 Artikel Terbaru Kami :


Godaan Bayi Baru Lahir Menurut Agama Hindu

Begitu bayi lahir, maka umur 1 minggu pertama akan datang para dewa, yang diutus Shang Hyang Siwa untuk menggoda bayi. Dalam ajaran agama Hindu, Dewa Siwa adalah dewa pelebur, bertugas melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana lagi sehingga harus dikembalikan kepada asalnya.

Malam yang datang pertama adalah Bhatara Khala, berwujud asu ajag datangnya saat pada matahari terbenam, sandi khala. Datang menjilat-jilati si bayi, bila bayi terkejut dia akan menangis/karuan alias kakab-kakab.

Malam kedua, datang Bhatara Brahma, berwujud Sapi, menggoda dan menjilat-jilat bayi pada saat semua orang sedang tidur. Bila bayi terkejut maka dia akan menangis.

Malam ketiga, datang Bhatara Wisnu, berwujud celeng menggoda bayi. Datangnya pada saat tengah malam, lalu menjilati bayi, bila si bayi terkejut dan takut dia akan menangis.

Malam keempat – petang bengi – datang Bhatara Guru berwujud burung perkutut. Selanjutnya  secara berturut turut datang Bhatara Mahadewa berwujud kambing. Bhatara Yama berwujud shanggira. Bhatara Kuwera berupa tikus. Bhatara Pritanjala berupa burung emprit. Bhatara Langsur berupa manjangan. Bhatara Ludra berupa sapi nandini. Bhatara Surya berupa ular, dan  Bhatara Chandra berupa kucing.

Tapi bila si bayi tidak takut, tidak terkejut, atau malah senang di goda dan dijilati oleh binatang binatang itu tadi, maka dia akan tersenyum-senyum, tertawa tawa, atau berbicara sendiran.

Setelah kepus udel, kepus puser atau seminggu setelah kelahirannya si bayi, akan lebih besar lagi godaanya. Karena bukan para dewa lagi yang datang, melainkan para lelembut, roh halus, wong samar, gumatat gumatit. Tapi jangan takut dulu, karena yang datang itu, tidak lain adalah perwujudan sang catur sanak si bayi sendiri. Seperti :

  1. Kutilapas kethek (lutung) perwujudan dari bungkus/lamas
  2. Celeng demalung perwujudan dari yeh nyom/ketuban
  3. Asu ajeg perwujudan dari ari ari
  4. Kalasrenggi (banteng) perwujudan dari getih/darah
  5. Kalamurti (kebo) perwujudan dari puser/udel
  6. Kalarandin (menjangan) perwujudan dari ilu/idu/air liu
  7. Kralawelakas (kidang) perwujudan dari kunir/kunyit
  8. Tikus jinada perwujudan dari ceplekaning ari-ari
  9. Taliwangke perwujudan dari ususing ari-ari

Begitulah adanya seorang bayi atau rare, mulai kelahirannya sampai tutug kambuhan,bulan pitung dina atau 42 hari, akan selalu di goda oleh para dewa serta saudara-saudaranya. Hal ini hendaknya tidak membuat anda bingung dan takut.

sumber: Artikel ini di sadur dari Buku Kanda Empat Sari Oleh Mangku Alit Pekandelan & Drs. I Wayan Yendra.

Punyan Tibah Di Kandang Celeng Untuk Hindari Leak

Dulu pada saat banyak orang Bali memelihara hewan ternak, tercetuslah sebuah gugon tuwon  yang menyatakan jika seseorang memelihara babi tapi tidak terdapat pohon mengkudu atau tibah maka babi itu akan mati amah leak. Lebih parahnya, seseorang yang tinggal dirumah tersebut jika kandang babi mereka tidak dipayungi oleh pohon tibah, maka orang-orang rumah akan terserang wabah penyakit. Konotasi orang Bali pada jaman dulu tentang penyakit adalah amah leak.

Pohon Mengkudu

Dengan demikian kandang babi atau badan celeng manusia Bali di buat dengan di sisi kanan atau kirinya ditanami pohon mengkudu. Pohon mengkudu adalah pohon yang tidak terlalu besar, tingginya 4 sampai 6 meter saja. Pohon ini terkenal dengan buahnya yang memiliki bau yang menyengat namun memiliki banyak khasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti maag, pilek, sakit kepala, bahkan diabetes.

Ternyata, faktanya adalah pohon mengkudu tersebut adalah anti septic terhadap kuman. Mungkin saja, kotoran ternak itu membawa banyak penyakit yang tentu saja akan berakibat kurang baik bagi kesehatan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, buah mengkudu atau buah tibah ditanam di sekeliling kandang, dan membiarkan buah tibah yang sudah masak dengan sendirinya jatuh di tanah.

Karena seseorang peternak dapat saja menderita sakit kulit atau gatal-gatal dan menyebabkan kulitnya menjadi bruntusan. Buah mengkudu dapat digunakan sebagai obat untuk itu. Sekarang kemajuan jaman telah merubah sistem itu, dan sabun yang terbuat dari sari buah mengkudu untuk memperhalus kulit beredar di pasaran dengan murah. Itu saja sudah cukup untuk menjelaskan mengapa ada tibah disana.

Pengaturan kandang ternak juga diatur sedemikian rupa, dan sering kali ditempatkan di arah kelod kauh atau barat daya, yang nantinya kotoran dari limbah itu menjadi satu dengan kotoran yang merupakan limbah rumah tangga lainnya yang datang dari dapur. Saluran airnya dibuat dengan rapi dan di setiap sisinya ditanami jangu. Atau ada juga yang menanamnya di depan songbah atau got setiap rumah.

Songbah adalah saluran pembuangan rumah-rumah hunian di Bali, saluran itu dibuat lewat sistem terasering. Setelah itu, bagian bawahnya akan ditanami jangu, ini bertujuan untuk menahan logam-logam berat dari limbah rumah tangga agar tidak mengalir keluar saluran pembuangan. Untuk alasan itu juga mengapa setiap orang Bali mebanten di songbah, sebab saluran pembuangan limbah adalah hal yang utama dalam setiap pekarangan dan juga dalam banyak konteks.

jangu

Tanaman Jangu

Pengelolaan limbah orang Bali memang hebat, dan dengan ditanaminya jangu di sana, maka yang mengalir keluar adalah air yang sudah disaring, dengan demikian tidak akan membahayakan. Limbah yang tidak tersaring dengan baik akan berdampak kurang sehat. Ada banyak keracunan logam berat yang sangat berbahaya, untuk hal itulah, limbah pun perlu diperhatikan, dan penanaman jangu merupakan hal yang tepat untuk hal ini. Kemudian dengan adanya orang Bali mebanten di songbah, maka dengan sendirinya saluran itu akan tetap bersih. Jadi hunian manusia Bali adalah hunian yang ramah lingkungan dan memperhatikan kesehatan jasmani dan rohani secara simultan.

 

sumber : Artikel ini di kutip dari Buku “Bali Tenget” dengan pelbagai perubahan.

Gambar : http://www.kelair.bppt.go.id/sib3pop/Iptek/Jeringau/Jeringau.htm